Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil
membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas
politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru,
terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol
dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur
sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu
pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.Selanjutnya yang dimaksud
dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang
dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan
dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan
pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi
urusan rumah tangganya.
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang
dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat
atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah.
3. Tugas Pembantuan, tugas untuk turut
serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah
Daerah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan
kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang
penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan
potensi dan kekhasan daerah masing-masing.
Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa
kali perubahan, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).
Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi
pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan
yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh
kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah
daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu
saja dengan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
Tujuan otonomi daerah
·
Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
·
Pengembangan kehidupan demokrasi.
·
Keadilan nasional.
·
Pemerataan wilayah daerah.
·
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
·
Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
·
Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ciri-ciri otonomi daerah
Otonomi daerah
|
Setiap daerah memiliki perda (dibawah UU)
|
Perda terikat dengan UU
|
Hanya Presiden berwenang mengatur hukum
|
DPRD (provinsi) tidak punya hak veto terhadap UU negara yang disahkan DPR
|
Perda dicabut pemerintah pusat
|
Semi sentralisasi
|
Bisa interversi dari kebijakan pusat
|
Perjanjian dengan pihak asing/luar negeri harus melalui pusat
|
APBN dan APBD tergabung
|
Pengeluaran APBN dan APBD dihitung perbandingan
|
Setiap daerah tidak diakui sebagai negara berdaulat
|
Daerah harus mandiri
|
Keputusan pemda diatur pemerintah pusat
|
Tidak ada perjanjian antar daerah jika SDM/SDA dilibatkan
|
Masalah daerah merupakan tanggung jawab bersama
|
3 kekuasaan daerah tidak diakui
|
Hanya hari libur nasional diakui
|
Bendera nasional hanya diakui
|
Hanya bahasa nasional diakui
|
Pelakasanaan otonomi daerah era reformasi
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di
Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia
dan bertepatan dengan proses pergantian pemeritahan. Pemerintahan Habibie yang
memerintah setelah jatuhnya masa Suharto harus menghadapi tantangan untuk
mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1. melakukan pembagian
kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah
pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara
federal; atau
3. membuat pemerintah
provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan
dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5
Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar
mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya
antara lain :
1. Dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi
daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang
menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu,
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga
memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang
sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi
daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan
masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat
II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang
dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang
politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh,
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom
mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan
menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah
Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan kedudukan
sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja
Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan
kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota
sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini,
kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah
administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas
tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan
desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya
diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan
oleh pemerintah.
7. Wilayah Provinsi
meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal
pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut
sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.
8. Pemerintah Daerah
terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur
pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi
daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur
selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah
ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang
ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah
lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan
dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya
dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan
kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi
kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan
pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan
Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi yang terbatas.
Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten
dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya
kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk
berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan
perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan
pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri
maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD,
daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf
Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan
pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga
pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah
dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah
sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala
Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali
tidak dapat diterima oleh DPRD.
ref : http://id.wikipedia.org
ref : http://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar